Jangan
Takut Ambil Keputusan Tapi Jangan Korupsi
Mengapa Pak JK tekankan hal itu,
mungkin beliau punya firasat bahwa penerapan hukum dimasyarakat telah terjadi
pergulatan antara ilmu Hukum Tata Negara/Hukum Administrasi Negara dan Ilmu
Hukum Perdata di satu pihak dengan Ilmu Hukum Pidana. Pak JK melihat adanya
perasaan takut atau was-was dikalangan alat kelengkapan Negara dalam
menjalankan kewenangan dan kewajibannya untuk mengambil suatu keputusan yang
mungkin berupa kebijakan, mengapa mereka takut atau was-was karena selain
kebijakan itu merupakan penyimpangan, juga karena rumusan delik pada
Undang-ndang Tindak Pidana Korupsi tidak punya kepastian hukum.
Sejak awal dipelajari kedua kelompok
Ilmu Hukum ini bertentangan tujuannya. Ilmu Hukum Administrasi Negara /Tata
Negara dan Ilmu Hukum Perdata mengajarkan bagaimana mewujudkan kesejahteraan,
sedangkan Ilmu Hukum Pidana mengajarkan bagaimana mewujudkan penderitaan .
Pergulatan antar tata hukum ini
terjadi, kar ena pada waktu pejabat menjalankan kewenangan dan kewajibannya
untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, mereka berada diruang lingkup Hukum
Publik yaitu Hukum Administrasi Negara/Tata Negara misalnya membangun jembatan,
sekolah dan lain-lain. Tetapi dalam melaksanakan kewajibannya membangun
jembatan, jalan atau sekolah itu dia harus membeli material, pada waktu
itulah dia berada diruang lingkup hukum privat dia harus tunduk pada hukum
perdata/hukum kontrak, disinilah terjadi konflik antar tata hukum, seorang pejabat
harus menentukan satu pilihan kebijakan dengan mengambil keputusan, menghindari
ancaman pidana atau menghindari ancaman wanprestasi dalam hukum kontrak/Hukum
Perdata.
Keadaan ini sering muncul pada akhir
tahun anggaran. Ada dua Guru Besar dalam ilmu hukum yang berkesan di benak
penulis tentang konflik antar tata hukum ini, yang pertama Prof.
KMRTD Tirtodiningrat Guru Besar Hukum Perdata dan Prof. Baharuddin Lopa.
Prof. Tirtodiningrat dalam kuliahnya
dihadapan mahasiswa Fakultas Hukum Unhas menyatakan kepada kami mahasiswa,
kalau kalian mahasiswa mau hidupmu sejahtera dan mensejahterakan masyarakat
banyak-banyaklah belajar ilmu hukum perdata dan jangan banyak belajar ilmu
hukum pidana, karena ilmu hukum pidana kerjanya cuma membuat orang menderita.
Prof. Baharudin Lopa sewaktu
jadi Jaksa Tinggi di Sulawesi Selatan, ada dua pertemuan penulis dengan beliau
yang penting, yaitu pertama saat awal masa jabatan beliau dan kedua, pada
akhir masa jabatan beliau, pada pertemuan kami pertama, beliau berkata:” saya
minta saudara berkata jujur kepada saya,”selama saya menjadi Jaksa TInggi
di Sul-Sel ini bagaimana saudara lihat di masyarakat, baik pejabatnya, tokoh
masyarakatnya terutama cara kerja kontraktornya”.Secara spontan penulis jawab
bagus Pak urusan lancar pembangunan berjalan baik dan berkualitas.”Itulah
tujuan saya kata beliau, sebenarnya saudara Sumange kalau ada orang yang saya
tangkap sayalah yang paling sedih, karena saya tahu mereka itu punya tanggungan
ada anak ada isteri, dan mungkin anaknya berhenti sekolah karena saya tangkap
bapaknya, padahal undang-undang yang kita jalankan ini cuma bikinan manusia
belum tentu benar, bukan bikinan Tuhan. Pada kesempatan kedua kami
bertemu dengan beliau diruang
kerjanya, tapi perbincangan kami kali
ini sangat singkat begitu kami duduk beliau lalu berkata “rupanya pusat
tidak serius memberantas korupsi”, “buktinya saya dicopot sebagai KAJATI
padahal baru saya mulai”, lalu beliau tertawa. Tawa beliau penulis paham
sebabnya, makanya penulis berkelakar mengatakan kepada beliau rupanya Bapak
mulai mengetuk pintu baja Sambil sama tertawa penulis pamit.
Setiap penulis menonton
televisi yang mempertontonkan drama penangkapan orang yang disangka
melakukan korupsi kemudian penegak hukum yang melakukan penangkapan mengadakan
konperensi pers , penulis mencari-cari wajah sedih seperti wajah sedihnya Pak
Lopa, wajah yang penuh pengertian tentang kemanusiaan, tetapi penulis tidak
menemukannya.
Suatu malam penulis menonton acara
Mata Najwa yang bertema “Enaknya Jadi Koruptor”
Disitu terungkap bahwa sekitar 20%
dari keseluruhan putusan Hakim tentang perkara korupsi berupa putusan bebas.
Timbul pertanyaan mengapa bebas, kalau seorang terdakwa tidak terbukti
melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan delik tentu akan diputus bebas.
Putusan bebas inilah yang biasanya dimasyarakat menimbulkan persangkaan yang
beragam, dan kadang-kadang menjadi fitnah terhadap penegak hukum terutama
terhadap hakim yang memutus bebas itu.Kalau 20 % bebas, berarti 80 %
dihukum/dipidana dan kalau diperhatikan wajah para peserta Acara Mata Najwa
termasuk wajah Najwa sendiri angka 20 % bebas terlalu tinggi, Nafsu
mereka menginginkan supaya yang bebas 0 % dan yang dijatuhi pidana100%.
Dimana letak permasalahan angka 20% dan 80%, kalau menurut pengamatan penulis
justeru seharusnya fifty-fifty (50%bebas-50%dipidana) alasannya ternyata
banyak yang dipidana sebagai koruptor,tetapi tidak mencuri uang negara
sepeserpun,koruptor tapi bukan maling uang negara, seorang pejabat dihukum
menyuap, padahal sebenarnya dia cuma korban pemerasan, misalnya kalau inisiatip
memberi uang bukan dari pemberi uang, tapi inisiatip dari penerima uang, sedang
sipemberi uang tujuannya untuk membangun pelabuhan Internasional harus terwujud
agar perekonomian berkembang pesat, negara diuntungkan triliunan rupiah
dan kesejahteraan rakyat terwujud, apalagi ia cuma dimintai uang /diperas satu
milyar (prinsip ekonomi dengan pengeluaran sekecil-kecilnya mendapat untung
sebesar-besarnya).Tentang suap,yang tertangkap tangan dan selalu diberitakan
dikoran atau di TV adalah suap supaya terdakwa BEBAS,tetapi suap supaya
terdakwa DIHUKUM/DIPIDANA tidak nampak atau sama sekali tidak muncul
dalam pemberitaan, padahal suap inilah yang paling menguntungkan bagi
penerima suap, karena selain menerima uang, dia juga dapat sanjungan dari
masyarakat dan dapat lagi pujian dari atasannya yang mungkin berujung pada
kenaikan pangkat.Padahal suap jenis inilah yang paling berdosa,prinsip dalam
hukum pidana “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah, daripada menghukum
satu orang yang tak bersalah”. Disini nampak bahwa rumusan delik Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi tidak menjamin kepastian hukum, penyebab lain adalah
karena Tindak Pidana Korupsi sebagai Tindak Pidana Khusus punya ciri khas
yaitu rumusan deliknya ringkas, pendek agar jangkauannya luas, mudah berubah
seperti misalnya delik Ekonomi,ada ketentuan harga tidak boleh melebihi harga
pasar,harga pasar kan selalu berubah, delik Subversi dengan kalimat merongrong
kewibawaan pemerintah, hal itu sangat elastis seperti karet misalnya pada delik
Korupsi dengan kalimat DAPAT merugikan keuangan negara, kata dapat itu sangat
elastis penafsirannya. Karena sifat rumusan delik pada Tindak Pidana Khusus
demikian elastisnya sehingga mudah menimbulkan kesewenang-wenangan dan memberi
peluang kepada politisi untuk menjatuhkan lawan politiknya, dengan dalih
mendorong penegakan hukum.Faktor lain disebabkan penegak hukum sering
tidak memahami atau mungkin untukmemenuhi target penanganan perkara korupsi
yang dibebankan oleh atasannya kepadanya, sehingga tujuan Hukum Acara Pidanna
untuk menemukan ke benaran materieel/kebenaran hakiki dia abaikan dan inilah
penyebab terjadi nya perbuatan sewenang-wenang dari seorang penegak hukum.Kata
seorang hakim kepada penulis dalam suatu perbincangan “saya tidak akan lakukan
itu, karena hakim dari semua hakim, tidak pernah tidur, yaitu TUHAN”.
Contoh lain dimana seorang hakim mengejar kebenaran materieel dapat kita baca
pada buku karangan Wirjono Projodikoro, mantan ketua Mahkamah Agung “seorang
hakim di Bonthain (Bantaeng SulSel.) mengadili perkara pembunuhan, dimana
terdakwa mengaku sebagai pembunuhnya dan dilakukan didalam sebuah rumah seperti
dalam dakwaan jaksa,walaupun terdakwa telah mengakui dakwaan jaksa, hakim
tetap mengejar kebenaran materieel/kebenaran hakiki dengan melakukan
pemeriksaan dirumah tempat terjadinya pembunuhan itu, ternyata cerita terdakwa
tentang keadaan rumah itu berbeda dengan keadaan yang sebenarnya, ahirnya
hakim tersebut yakin bahwa ada pembunuh yang lain dan terdakwa diputus bebas”.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi unsur yang paling banyak membawa
derita ialah unsur “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Tentang unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, .Dalam
hal seorang penegak hukum yang tentu ahli hukum dalam mengejar kebenaran
materieel/kebenaran hakiki seharusnya bekerjasama dengan seorang ahli
ekonomi untuk menemukan kebenaran hakiki. Dalam penanganan
Tindak Pidana Korupsi keterkaitan dengan ilmu ekonomi keuangan tidak dapat
dihindarkan.
Seorang ahli hukum sebagai penegak
hukum mungkin mengetahui tentang Laba–Rugi dengan membaca dikoran dimana biasa
memuat Laporan Neraca Laba Rugi dari suatu perusahaan, setiap pengeluaran uang
ditempatkan dikolom RUGI dan setiap pemasukan uang ditempatkan dikolom LABA.
Misalkan seorang pejabat negara
mengambil suatu kebijakan, karena diperhadapkan oleh suatu keadaan terpaksa
(overmacht) yang berdasar pasal 48 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
berbunyi:Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, TIDAK
DIPIDANA.
Dalam hal pelaksanaan proyek
pembebasan Lahan misalnya telah disepakati harga/nilai ganti rugi tanah,seharga
Rp.100.000 per meter bujursangkar, dengan luas 10.000 meter bujur sangkar harganyasebesar
Rp.1000.000.000,-(Satu milyar rupiah).Jadi antara pejabat negara dan masyarakat
pemilik tanah telah terjadi kesepakatan seperti yang diatur dalam Hukum
Perjanjian, yang tentu menurut undang-undang dengan sanksi apabila diantaranya
ada yang melakukan wanprestasi.
Dan anggaran/uangnya telah tersedia
tetapi kelengkapan administrasinya belum lengkap misalnya para ahli waris belum
terkumpul atau tiba-ada pemilik lahan meninggal dan sebagainya, karena didesak
oleh waktu, akhir tahun anggaran, maka pejabat negara tersebut harus mengambil
keputusan dalam dua resiko yang dihadapinya, resiko pertama kalau tidak
mengambil keputusan berupa suatu kebijakan, uang itu akan kembali kekas negara,
secara phisik kelihatan negara tidak rugi karena uangnya tidak keluar,tetapi
uang itu seperti kalau disimpan dibawah bantal, jumlah hitungannya tidak
berkurang, tetapi secara ekonomi rugi, karena nilainya jadi berkurang, dan
pembangunan yang sudah jalan setengah terhenti, kalaupun pembangunan itu
dilanjutkan pada dua tahun berikutnya misalnya baru pembangunan itu jalan lagi,
tetapi dengan uang satu milyar itu mungkin hanya cukup membayar harga
tanahuntuk seluas 200 meter bujur sangkar saja, tidak dapat lagi lahan seluas
10.000 meter persegi.Selain kerugian senilai 9800 meter persegi sebagai akibat
ketakutannya mengambil keputusan, juga pejabat tersebut telah melakukan
wanprestasi sesuai pasal 1246 Kitab Undang –Undang Hukum Perdata . Sedang kalau
pejabat tersebut berani mengambil keputusan dengan kebijakan mengeluarkan uang
yang terancam hangus itu dan memasukkan ke bank milik pemerintah, dengan penuh
itikad baik (orang yang beritikad baik wajib dilindungi oleh hukum), selain
uang itu bertambah jumlahnya (menguntungkan negara secara nyata) juga secara
ekonomi menguntungkan perekonomian negara, karena uang yang ada di bank
pemerintah itu akan berputar bersama berputarnya roda perekonomian. Selain
jumlah uangnya bertambah yang dengan sendiri nya menguntungkan keuangan negara
dan juga menguntungkan perekonomian negara.Hal ini sejalan dengan pendapat
Prof. Subekti, SH mantan Ketua Mahkamah Agung dalam putusan MA No.97 K/Kr/1973,
berpendapat bahwa “perbuatan mendepositokan uang negara pada Bank milik
pemerintah, tidak merupakan perbuatan korupsi,karena uang itu tidak
hilang dan tetap dalam kekuasaan negara”. Kebijakan-kebijakan semacam itulah
barangkali yang dimaksud oleh Pak JK sebagai seorang ekonom pada suatu
kesempatan, dalam acara Konperensi Nasional Pemberantasan Korupsi, Wakil
Presiden Jusup Kalla mengemukakan harapannya agar upaya pemberantasan korupsi
tidak membuat para pejabat takut mengambil keputusan, kalau takut mengambil
keputusan/kebijakan, pertumbuhan ekonomi akan melambat akibatnya angka
kemiskinan akan bertambah. Selanjutnya JK berharap agar kewenangan mengambil kebijakan
oleh pejabat pemerintah juga harus dihormati. Lanjut JK tidak semua kebijakan
berhasil, jika tak berhasil belum tentu salah menurut hukum. Kenapa kebijakan
pejabat itu harus dihormati, karena kebijakan itu didasari hukum yang berlaku
yaitu Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata.
Menurut ilmu hukum pidana seseorang
pejabat pemerintah dalam menjalankan kewenangannya mengambil suatu kebijakan,
bukan berhasil atau tidak berhasilnya kebijakan itu yang menjadi ukuran, tetapi
yang menjadi ukuran ialah apakah perbuatan dalam mengambil suatu kebijakan
dalam rangka menjalankan kewenangannya itu merupakan perbuatan yang memenuhi
rumusan delik yang tercantum dalam pasal-pasal Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi atau tidak. Salah satu rumusan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi:”Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara”.Melihat delik Tindak Pidana Korupsi itu yang demikian
singkatnya, jangkauannya sangat luas, dan sangat elastic seperti karet, tidak
menjamin kepastian hukum demikian luasnya sehingga seorang politisi/calon
pejabat Negara, baru berkampanye dan berjanji akan mensejahterakan rakyat
dalam kampanyenya, berarti dia sudah berjanji akan melakukan salah satu unsur
dari pasal Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu unsur memperkaya orang
lain atau suatu badan, bukankah mensejahterakan rakyat berarti memperkaya orang
lain. Selanjutnya kalau dia berhasil terpilih, sebagai seorang pejabat Negara
akan memiliki kewenangan mengelola uang Negara ia akan mengeluarkan uang
Negara, uang Negara keluar berarti Negara rugi, karena uangnya berkurang.
Tinggal satu unsur lagi yaitu unsur melawan hukum, apakah perbuatannya melawan
hukum atau tidak. Jadi unsur melawan hukum inilah yang seharusnya diberi
penjelasan yang sejelas-jelasnya dalam penjelasan pasal-pasal Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi agar supaya tafsir tentang sifat melawan hukum itu
merupakan penafsiran otentik, demi menjamin adanya kepastian hukum.Supaya
setiap pejabat public merasa kepastian hukumnya terjamin.
Kalau perbuatan dalam menjalankan
kewenangannya itu memenuhi rumusan delik, maka secara formalperbuatannya
melawan hukum,tetapi secara materiel belum tentu melawan hukum, tentang sifat
melawan hukum secara materiel ini dapat kita lihat pada putusan Mahkamah Agung
No.81 K/KR/1973 tanggal 30 Maret 1977 menyatakan: “Tertuduh, terkasasi dalam
menjalankan tugas pekerjaannya, selaku pejabat yang berwenang dengan
memperhitungkan biaya yang tidak dikurangi kemamfaatannya dengan tidak
mengambil keuntungan dirinya sendiri ………………….., kepentingan umum terlayani dan
Negara tidak dirugikan, SECARA MATERIEL TIDAK MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik yang bersangkutan.”
Jadi kesimpulannya kalau hakimnya
menganut ajaran formal tentang melawan hukum, hasilnya terdakwa
dihukum/dipidana, tetapi kalau hakimnya menganut ajaran materiel tentang sifat
melawan hukum, hasilnya terdakwa akan mendapat putusan bebas. Hal inilah yang
menyebabkan seorang pejabat TAKUT mengambil keputusan yang berupa suatu
kebijakan, karena rumusan delik pada pasal-pasal Undang –Undang Tindak Pidana
Korupsi sangat elastic sebagai sifat khas dari Pidana khusus yang TIDAK
MENJAMIN ADANYA KEPASTIAN HUKUM, selain menimbulkan ketakutan bagi
pejabat public,juga menimbulkan kegaduhan bagi pihak-pihak tertentu dan
memudahkan terjadinya kesewenang-wenangan.Sekarang dipakai istilah
KRIMINALISASI.Kegaduhan yang terjadi antar penegak hukum sekarang ini, karena
penegak hukum sudah mulai memakai kaca pembesar, sehingga kesalahan sekecil
kuman pun akan nampak. Adakah manusia bebas dari KUMAN?
Andi Sumangelipu,SH
Bin Andi Makkuradde