SEORANG teman dari
Kemendikbud dua minggu lalu menelepon saya. Ia mengatakan bahwa ia bingung
dengan rencana Mendikbud Anies Baswedan yang hendak melaksanakan lagi uji
kompetensi guru (UKG) terhadap semua guru di Indonesia. Pasalnya, bukan hanya
terletak pada substansi yang hendak diujikan, melainkan juga menyangkut biaya
yang tidak sedikit. Padahal, data UKG tahun-tahun sebelumnya masih ada dan
mangkrak hanya sebagai data tanpa ada intervensi kebijakan yang serius terhadap
guru dalam 2 tahun terakhir. Data UKG sejak 2012 hingga 2014 relatif sama.
Itu menandakan Kemendikbud belum melakukan banyak perubahan berarti untuk meningkatkan
kapasitas guru.
Muncul dua pertanyaan dari saya, yaitu apakah
Menteri Anies Baswedan tidak percaya dengan hasil UKG yang sudah ada? atau
jangan-jangan Pak Menteri hanya menjalankan program yang sudah direncanakan
sebelumnya dalam rangka evaluasi kinerja kementerian yang daya serap
anggarannya masih rendah? Agar tak banyak spekulasi yang muncul, saya menebak
Menteri Anies ingin pelaksanaan UKG tahun ini lebih baik dari segi substansi
dan teknis pelaksanaannya.
Namun, itu tetap saja tak masuk di akal saya
karena kebijakan melakukan UKG setiap tahun tetap merupakan pemborosan karena
pemerintah belum maksimal melakukan intervensi terhadap data yang ada.
Otoritas profesional dan pedagogis
Menyangkut profesionalitas guru, saya ingin
bertanya apakah aspek pedagogis guru bisa dites melalui serangkaian soal di
komputer seperti yang diujikan dalam UKG? Menurut saya, itu sangat absurd
karena aspek pedagogis akan lebih baik diujikan melalui serangkaian observasi
yang terukur dan sistemik di dalam sebuah sekolah. Karena itu, penting bagi
seluruh stakeholders pendidikan di Indonesia untuk memahami esensi
profesionalitas guru berdasarkan kemampuan manajerial sekolah di tiap-tiap
wilayah. Mengapa?
Otoritas profesional berasumsi bahwa proses
pembelajaran merupakan suatu disiplin intelektual yang memerlukan pengembangan
dalam suatu wadah yang baik. Dengan kata lain, jika guru punya otoritas, ia
akan mudah dikenali secara cepat dan mudah, baik oleh anak didiknya maupun
praktisi pendidikan lainnya. Di samping itu, otoritas profesional dapat
menunjukkan jati diri guru, yaitu selain sebagai pembaca buku, juga sekaligus
pembelajar bagi anak didiknya. Ketiadaan otoritas bagi seorang guru dapat
diibaratkan seperti seorang dokter yang melakukan diagnosis tanpa pengetahuan
teori dan cara mendiagnosis pasien.
Salah satu syarat yang
dibutuhkan untuk menumbuhkan otoritas profesional guru ialah memahami dan
kemudian meninggalkan paradigma lama dalam melakukan pola pembelajaran. Lebih
dari 15 tahun para guru di seluruh dunia terbuai dengan teori behaviorisme yang
selalu berusaha mencoba mengubah tingkah laku. Secara interinsik, proses
belajar mengajar dalam behaviorisme terlalu terpaku pada masalah-masalah yang
kompleks dan tak terpecahkan, yaitu asumsi stimulus respons terlalu
menyederhanakan masalah pembelajaran yang semakin spesifik. Pendekatan
behavioristik juga sangat kurang menghargai kreativitas siswa karena model
menghapal dan meng-copy masalah menjadi ciri
lain dari model ini. Dalam dunia pendidikan yang sudah berkembang sedemikian
pesat sekarang ini, otoritas guru yang didasarkan pada teori behaviorisme harus
segera diubah ke pendekatan functional-learning, sebuah pendekatan yang lebih menghargai kapasitas akademis
guru dan siswa secara bersamaan.
Teori fungsional (functioning theory) berkembang dalam 20 tahun terakhir. Model
ini mensyaratkan otoritas guru tergantung dari siapa yang mengajar. Dalam
bahasa Jerome Bruner, model teori itu seperti fungsi seorang ibu yang
berinteraksi dengan anaknya melalui akuisisi bahasa (Bruner, Learning the
Mother Tongue, Human Nature, September 1978). Artinya, teori ini melihat bahasa sebagai hasil interaksi
seorang ibu atau guru ketika menggunakan bahasa sesuai dengan rasa bahasa yang
berkembang dalam diri seorang anak. Di dalam kelas, guru harus melihat
penugasan dalam penulisan bukan sebagai tiruan tegas, melainkan sebagai situasi
penulisan yang mempunyai satu peran fungsional terhadap daya nalar dan daya
tangkap seorang anak.
Karena itu, diperlukan cara untuk menguji
kompetensi profesional dan pedagogis guru dari jarak yang paling dekat dengan
siswa dan lingkungan sekolah. Ambil contoh bagaimana SSB melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap guru dan siswa. Bagi manajemen SSB, monitoring yang
paling utama justru harus dilakukan terhadap guru terlebih dahulu sebelum
mereka menguji dan mengevaluasi para siswa. Karena itu, kami beruntung memiliki
tools seperti sistem informasi sekolah terpadu online (sisto), yang digunakan
tidak hanya mela cak kemampuan siswa dalam belajar, tetapi juga mendeteksi
kemampuan mengajar para guru dari waktu ke waktu. Model monitoring dan evaluasi
guru jenis ini diyakini mampu meningkatkan kapasitas dan kemampuan guru pada
empat hal yang menjadi isu utama undang-undang guru, yaitu kompetensi
profesional, pedagogis, sosial, dan kepribadian (sikap).
Untuk mengukur kompetensi profesional seorang
guru, sisto yang kami buat cukup mendata seberapa banyak buku, artikel, jurnal,
dan tulisan yang digunakan dan dibaca para guru ketika mereka meng ajarkan
materi tertentu. Guru tak hanya dibekali buku teks mata ajar tertentu yang
menjadi spesialisasinya, tetapi juga wajib membaca bahan-bahan lain dalam
rangka mendukung proses belajar mengajar yang lebih kreatif dan menyenangkan.
Setiap minggu guru SSB diwajibkan mengisi modul profesional guru yang ada dalam
sisto secara rutin untuk melihat berapa banyak bahan yang dibaca guru tersebut
selain buku teks.
Kompetensi pedagogis
juga diukur dan dievaluasi secara terencana dan berjenjang melalui modul
supervisi dan observasi kelas yang secara terus-menerus dilaku kan direktur
sekolah, kepala sekolah, guru, dan pengawas sekolah. Melalui instrumen
supervisi dan observasi kelas, direktur sekolah dan kepala sekolah bertugas dan
bertanggung jawab untuk mengevaluasi apakah kemampuan implementatif guru pada
aspek metodologis dan strategi pembelajaran berkembang atau tidak. Lagi-lagi,
modul kompetensi pedagogis yang terintegrasi ke dalam sisto ini juga terbuka
untuk stakeholders lain yang ingin melihat peta perkembangan
pedagogis guru secara periodik.
Lant Pritchett dalam The Rebirth
of Education: Schooling Ain’t Learning (2013) menengarai sistem persekolahan di banyak negara telah
gagal dalam upaya mencerdaskan masyarakat karena pilihan soal desentralisasi
tidak dianalisis berdasarkan struktur sosial budaya di tempat sekolah itu
berada. Meskipun kita bisa melihat ada banyak hambatan yang akan terus muncul,
menjadikan sekolah sebagai basis dan unit analisis sebuah kebijakan ialah
imperatif. Saya menunggu kebijakan uji kompetensi guru (UKG) jenis lain, yaitu
berbasis sekolah seperti yang dilakukan SSB, tidak masif seperti sekarang dan
menelan biaya yang juga sangat besar.
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 16 November 2015